Dilamar!

19 Januari 2011

Sengaja aku berangkat lebih pagi dari biasanya. Sengaja ingin merasakan “tidak diburu-buru waktu” dan merasakan menjadi mereka yang “santai”. Aku pacu motorku pelan-pelan. Pagi ini sungguh segar. Butir-butir air menetes dari pucuk-pucuk daun padi, hamparan sawah hijau membentang menyejukkan mata, daun-daun berserakan di jalan sisa hujan tadi malam, dan burung-burung kecil memulai kegiatannya mencari makan. Kuhirup udara dalam-dalam. Aku nikmati setiap partikel zat kehidupan ini masuk ke paru-paruku. Mm..sangat-sangat menentramkan. Nikmat Allah pagi ini memang sungguh luar biasa. Ya, walaupun cuma 5 menit lebih awal, tapi ternyata ini sangat cukup untuk merasakan setitik kuasa-Nya. 

Untuk kesekian ratus kali aku lalui jalan ini. Dan tak bosan-bosannya, aku menoleh ke kanan kiri untuk melihat hamparan kaki Gunung Lawu di timur atau puncak Gunung Merapi di barat. Karena laju ku pelan-pelan, tidak sedikit kendaraan lain mendahului ku dengan cepatnya. Huff..kadang-kadang naik darah juga jika yang mereka menyalip dengan seenaknya dan tidak memberi sign. Tapi hari ini aku tidak ingin marah. Bukankah tujuanku menikmati pagi yang segar dan jernih ini? Aku ingin berdamai dengan mereka yang seenaknya. 

Serombongan siswa sekolah dasar masih berdiri di luar pagar sekolah. Berarti belum genap pukul 7. Motor tuaku dipaksa berhenti ketika tepat di depanku palang pintu perlintasan kereta api ditutup secara otomatis oleh petugas jaga yang artinya akan ada kereta lewat. Entah mengapa, aku suka naik kereta. Di samping merupakan sarana transportasi darat tercepat, bagiku hanya kereta yang cocok untuk perjalanan jarak jauh –kalau menggunakan bis, aku pasti mabuk berat. Tiba-tiba ingatanku melayang pada kejadian tahun 2004 lalu. Kejadian yang menurutku sangat luar biasa. Aku dilamar oleh seseorang yang baru 2 jam mengenalku!

Dulu, lagi-lagi karena alasan mabuk darat, aku lebih sering menggunakan kereta api untuk pergi ke kota Solo, kota tempatku belajar. Dengan “menumpang” kereta bisnis eksekutif jurusan Bandung-Solo, setiap Minggu sore biasanya aku sudah standby di stasiun kecil yang berjarak 18 km dari rumah. Untuk masuk ke stasiun itu, aku tidak melewati pintu peron. Namun lewat pintu di sebelah barat yang dekat dengan mess pegawai PJKA. Ceritanya untuk menghemat ongkos. Pukul 14.30 kereta tiba di stasiun. Kami –aku dan beberapa teman seperjuangan- hanya punya waktu 3 menit untuk naik ke kereta dan mencari tempat duduk. Kami berlaga bak penumpang asli dari Bandung yang begitu familiar dengan suasana kereta. Begitu ada pemeriksaan karcis dan kondektur berkeliling, kami sangat tenang. Sengaja mencari obrolan dengan orang di sebelah tempat duduk, bermain handphone, pura-pura tidur atau bahkan berjalan-jalan pindah gerbong. Konyol memang, tapi itulah yang kami lakukan untuk menghindari “membeli karcis” pada kondektur. Jika kami bisa lolos dari audit itu, jiwa ini dipenuhi rasa puas luar biasa. Seperti mendapat undian memenangkan hadiah utama sebuah mobil mewah. Senyum lepas selalu mengembang di wajah kami. Dan sesampainya di tempat kos, tak henti-hentinya kami menceritakan kehebatan kami ini. 

Seperti juga hari itu. Di kereta aku duduk bersebelahan dengan seorang laki-laki yang kalau aku taksir umurnya sekitar 32 tahun. Aku sudah lepas dari pemeriksaan kondektur dan bersiap tidur sejenak karena badanku sangat capek. Baru akan memejamkan mata, laki-laki di sebelahku itu menyapa. Untuk menghormatinya, aku mengikuti obrolan yang dia buka. Setiap pertanyaan yang dia lontarkan, aku menjawab dengan jawaban pendek. Begitu seterusnya, yang pada akhirnya kadang muncul pertanyaanku untuk si Bapak itu, yang ternyata namanya Satya. Pak Satya asli orang Bandung dan akan ke Solo untuk urusan bisnis. Obrolan kami begitu seru, bahkan tak jarang beliau tertawa lepas atau menganggukkan kepala dalam-dalam pertanda mengerti. Hingga, keluarlah pertanyaan itu, apakah aku pernah berpikiran dilamar oleh seseorang yang baru aku kenal. Aku menggelengkan kepala, yang berarti tidak. Lalu dia melanjutkan lagi dengan pertanyaan, apakah aku sudah punya calon pendamping atau belum. Lagi-lagi aku bilang tidak, karena memang aku tidak punya pacar saat itu. Kemudian beliau bilang, dia sangat tertarik denganku dan ingin melamarku. Aku tertawa keras-keras. Orang ini pasti tidak waras. Pak Satya meyakinkanku bahwa apa yang baru saja diucapkannya adalah benar dan sungguh-sungguh. Aku menjawab masih belum terpikir olehku untuk menikah secepat ini, apalagi dengan orang yang baru saja aku kenal, terpantau umur cukup jauh –waktu itu umurku 21 tahun, dan berbeda etnik pula. Pak Satya memberiku nomor telepon dan alamat rumahnya di Bandung. Berharap jika aku berubah pikiran aku akan menghubunginya. Kembali aku hanya tersenyum. Kereta berjalan pelan memasuki stasiun terakhir, Solo Balapan. Itu adalah pertemuan pertama dan terakhir kami. Kini, sudah 7 tahun berlalu. Kertas berisi tulisan alamat dan nomor telepon itu sudah hilang. Pun wajah Pak Satya aku sudah lupa. Tapi cerita unik itu ternyata masih ada. Lucu memang jika aku mengingatnya. 

***
Palang pintu perlintasan kereta api sudah dibuka kembali. Belasan kendaraan berebut melewati rel sejajar ini. Begitu juga denganku, yang sepertinya akan terlambat karena tercegat kereta tadi.  Ku tarik gas motor maksimal, melewati aspal basah dan udara dingin pagi. Aku tersenyum tipis, apa kabar Pak Satya ya? Aku berencana mencari kertas kecil itu sesampainya di rumah sore nanti.. :D

0 komentar:

Posting Komentar