26 Januari

26 Januari 2011


Kalau ditanya “Hal apa yang paling kamu inginkan?”, jawabanku bukan harta, tahta atau jabatan. Jawabanku adalah “Bertemu Ayahku dan mengatakan I love you so much Bapak. Thank you for being our best Daddy..” 

Pagi itu, sinar mentari tidak menampakkan cahayanya dengan sempurna. Hanya mengintip malu-malu melalui celah-celah awan. Masih pukul setengah tujuh. Aku bahkan belum mandi ketika kulihat Bapak sedang mengecek mobil merah kesayangannya. Ya, mobil tua warna merah itu baru Bapak beli tiga bulan yang lalu. Kondisi mobil masih sangat prima, walaupun tergolong mobil kuno. Mesin bagus, cat bagus, interior wah dengan knalpot suara besar yang masih nge-trend saat itu. Bapak begitu menyayanginya, hingga aku tidak diperkenankan mengendara mobil itu sendirian –Bapak selalu mendampingi. 

Pukul tujuh, setelah sarapan pagi dan menikmati teh panas buatan Mama –yang nikmatnya luar biasa dan tidak ada tandingannya, Bapak berpamitan akan keluar kota. Beliau bilang, sudah berkencan dengan Paman kami yang tinggal di Jogja dan akan mengurus suatu hal. Kebetulan ini hari libur. Tapi tidak biasanya kami tidak antusias untuk ikut pergi dengan Bapak. Hanya kakakku saja yang sempat bilang pada Bapak kalau dia ingin ikut. Namun Bapak melarang, alasannya nanti kakak capek. Kemudian Bapak pergi. Aku tidak pernah menyangka sama sekali jika pagi itu adalah pertemuan terakhirku dengan Bapak, lelaki yang sangat aku cintai..

Setengah sebelas malam, pintu rumahku diketuk. Kakakku membukakan pintu. Ternyata teman sekantor Bapak yang datang. Mama sudah tidur dan Bapak masih belum pulang dari Jogja. Si tamu bersikeras bertemu dengan Mama walaupun sudah diberitahu oleh kakakku bahwa Mama sudah tidur. Akhirnya kami membangunkan Mama. Mama menemui tamu di ruang depan. Tak berapa lama, kami mendengar tangis Mama. Tangis yang sangat menyayat hati. Tangis untuk suaminya. Ya, Bapak mengalami kecelakaan bersama Paman dalam perjalanan pulang ke rumah. Keduanya meninggal dunia..

Malam itu, menjadi malam yang sangat panjang dan tidak bisa kulupakan. Ada sebuah lubang yang sangat besar di dadaku. Kehampaan. Aku bagai tenggelam dan hilang. Air mata tak berhenti mengalir di pipi. Sakit, sangat sakit bahkan. Puncak dari segala macam emosi tercurah. Sedih, marah, kecewa, hancur, kosong, semua menjadi satu. Semua karena aku harus kehilanganmu, Ayahku..
***
Hari ini, tepat tahun ke-9 Bapak tidak bersama kami. Masih terngiang, Bapak memanggil kami putri-putrinya dengan sebutan Kebo untuk kakakku, Sapi untukku dan Kuda untuk adikku. Masih terasa, sentuhan kumis Bapak di kulit wajah kami. Bapak selalu mencium kening kami kapanpun setiap ada kesempatan. Juga tawa lepas Bapak ketika sedang menggoda kami dengan melemparkan tubuh kami ke udara kemudian menangkapnya kembali. Atau muka marah Bapak, karena kami tidak segera mengambil air wudhu saat sebelum fajar menyingsing.

Banyak sekali hal yang sudah Bapak ajarkan padaku.
Tentang kesabaran –tidak selalu apa yang kuminta, langsung dipenuhi oleh Bapak. Harus menunggu berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan sampai akhirnya barang yang kuinginkan ada di tangan. Dan aku merasa sangat bersyukur akhirnya mendapatkan barang impianku.

Tentang keadilan –jarang aku merasa iri dengan apa yang dipunyai oleh kakak dan adikku. Bapak selalu bisa menjelaskan kenapa kakak punya barang A, aku punya barang B dan adik punya barang C. Semua dimiliki sesuai kebutuhannya masing-masing. 

Tentang arti kerja keras –sering Bapak meminta kami membantu pekerjaan tukang yang pada waktu itu sedang merenovasi rumah. Mengangkat batu bata, genting, atau semen. Bapak mengajarkan betapa kami harus bisa menghargai setiap rejeki yang Allah berikan pada kita.

Tentang sebuah kebanggaan dan apresiasi –diantara kami bertiga, hanya aku yang bisa menyetir mobil. Waktu itu aku masih kelas 1 SMA dan aku sudah diizinkan keluar dengan membawa kendaraan roda empat. Bapak begitu bangganya padaku hingga tak jarang Beliau bercerita kepada teman-temannya tentang hal ini. Saat itu aku merasa Bapak sombong karena membangga-banggakan kami. Tapi kelak, aku akan bilang bahwa itu bukan sombong. Tapi kebanggaan seorang Ayah karena telah berhasil mendidik anak-anaknya dengan baik. Ah, andai Bapak bisa mendampingi kami, akan kami buat Bapak menjadi Ayah yang paling berbahagia di dunia ini.

Tentang keutuhan keluarga –satu hal yang menjadi pertimbangan Bapak saat membeli mobil adalah kapasitas tempat duduk. Bapak sebenarnya suka pada mobil kecil macam sedan, namun karena pertimbangan keluarga kami yang cukup banyak ditambah Saudara-saudara yang tidak kalah banyak juga, akhirnya Bapak membeli mobil besar biar semua bisa terangkut. Bapak selalu memikirkan kebahagiaan orang banyak dan terbukti kami selalu nyaman di dekatnya.

Tentang arti hubungan sosial –Bapak tidak pernah memandang dengan siapa beliau bergaul. Padahal Bapak tergolong orang terpandang di kota kami. Baik di kalangan akademisi ataupun pemerintahan. Aku bisa bilang begitu karena pada saat Bapak meninggal, tidak hanya kawan-kawan kantornya saja yang datang melayat, tetapi juga tukang kayu, tukang becak, supir, satpam, tukang parkir, penjual sayur, ball boy di tempat tenis, bahkan petugas penyapu jalan pun ikut hadir dan men-sholatkan Bapak. Satu pelajaran yang kupetik, seorang teman tidak hanya menjadi rekan di dunia, tapi bisa jadi membantu kita di akhirat nanti.

Dan masih banyak lagi pelajaran yang Bapak sampaikan pada kami. Terlalu sedih jika aku mengingat semua hal tentang Bapak. Bapak memang bukan Bapak yang sempurna, tapi Bapak telah membuat kami merasa sangat bersyukur memiliki Ayah sepertinya. Dan satu hal, terima kasih telat mewariskan mata dan alis itu pada cucu kecilmu. Setiap kali mata mungil itu memandangku, seolah Bapak sedang di sini bersamaku. Bapak, istirahatlah dengan tenang. Semoga suatu saat nanti kita bisa bertemu di sana..

Dilamar!

19 Januari 2011

Sengaja aku berangkat lebih pagi dari biasanya. Sengaja ingin merasakan “tidak diburu-buru waktu” dan merasakan menjadi mereka yang “santai”. Aku pacu motorku pelan-pelan. Pagi ini sungguh segar. Butir-butir air menetes dari pucuk-pucuk daun padi, hamparan sawah hijau membentang menyejukkan mata, daun-daun berserakan di jalan sisa hujan tadi malam, dan burung-burung kecil memulai kegiatannya mencari makan. Kuhirup udara dalam-dalam. Aku nikmati setiap partikel zat kehidupan ini masuk ke paru-paruku. Mm..sangat-sangat menentramkan. Nikmat Allah pagi ini memang sungguh luar biasa. Ya, walaupun cuma 5 menit lebih awal, tapi ternyata ini sangat cukup untuk merasakan setitik kuasa-Nya. 

Untuk kesekian ratus kali aku lalui jalan ini. Dan tak bosan-bosannya, aku menoleh ke kanan kiri untuk melihat hamparan kaki Gunung Lawu di timur atau puncak Gunung Merapi di barat. Karena laju ku pelan-pelan, tidak sedikit kendaraan lain mendahului ku dengan cepatnya. Huff..kadang-kadang naik darah juga jika yang mereka menyalip dengan seenaknya dan tidak memberi sign. Tapi hari ini aku tidak ingin marah. Bukankah tujuanku menikmati pagi yang segar dan jernih ini? Aku ingin berdamai dengan mereka yang seenaknya. 

Serombongan siswa sekolah dasar masih berdiri di luar pagar sekolah. Berarti belum genap pukul 7. Motor tuaku dipaksa berhenti ketika tepat di depanku palang pintu perlintasan kereta api ditutup secara otomatis oleh petugas jaga yang artinya akan ada kereta lewat. Entah mengapa, aku suka naik kereta. Di samping merupakan sarana transportasi darat tercepat, bagiku hanya kereta yang cocok untuk perjalanan jarak jauh –kalau menggunakan bis, aku pasti mabuk berat. Tiba-tiba ingatanku melayang pada kejadian tahun 2004 lalu. Kejadian yang menurutku sangat luar biasa. Aku dilamar oleh seseorang yang baru 2 jam mengenalku!

Dulu, lagi-lagi karena alasan mabuk darat, aku lebih sering menggunakan kereta api untuk pergi ke kota Solo, kota tempatku belajar. Dengan “menumpang” kereta bisnis eksekutif jurusan Bandung-Solo, setiap Minggu sore biasanya aku sudah standby di stasiun kecil yang berjarak 18 km dari rumah. Untuk masuk ke stasiun itu, aku tidak melewati pintu peron. Namun lewat pintu di sebelah barat yang dekat dengan mess pegawai PJKA. Ceritanya untuk menghemat ongkos. Pukul 14.30 kereta tiba di stasiun. Kami –aku dan beberapa teman seperjuangan- hanya punya waktu 3 menit untuk naik ke kereta dan mencari tempat duduk. Kami berlaga bak penumpang asli dari Bandung yang begitu familiar dengan suasana kereta. Begitu ada pemeriksaan karcis dan kondektur berkeliling, kami sangat tenang. Sengaja mencari obrolan dengan orang di sebelah tempat duduk, bermain handphone, pura-pura tidur atau bahkan berjalan-jalan pindah gerbong. Konyol memang, tapi itulah yang kami lakukan untuk menghindari “membeli karcis” pada kondektur. Jika kami bisa lolos dari audit itu, jiwa ini dipenuhi rasa puas luar biasa. Seperti mendapat undian memenangkan hadiah utama sebuah mobil mewah. Senyum lepas selalu mengembang di wajah kami. Dan sesampainya di tempat kos, tak henti-hentinya kami menceritakan kehebatan kami ini. 

Seperti juga hari itu. Di kereta aku duduk bersebelahan dengan seorang laki-laki yang kalau aku taksir umurnya sekitar 32 tahun. Aku sudah lepas dari pemeriksaan kondektur dan bersiap tidur sejenak karena badanku sangat capek. Baru akan memejamkan mata, laki-laki di sebelahku itu menyapa. Untuk menghormatinya, aku mengikuti obrolan yang dia buka. Setiap pertanyaan yang dia lontarkan, aku menjawab dengan jawaban pendek. Begitu seterusnya, yang pada akhirnya kadang muncul pertanyaanku untuk si Bapak itu, yang ternyata namanya Satya. Pak Satya asli orang Bandung dan akan ke Solo untuk urusan bisnis. Obrolan kami begitu seru, bahkan tak jarang beliau tertawa lepas atau menganggukkan kepala dalam-dalam pertanda mengerti. Hingga, keluarlah pertanyaan itu, apakah aku pernah berpikiran dilamar oleh seseorang yang baru aku kenal. Aku menggelengkan kepala, yang berarti tidak. Lalu dia melanjutkan lagi dengan pertanyaan, apakah aku sudah punya calon pendamping atau belum. Lagi-lagi aku bilang tidak, karena memang aku tidak punya pacar saat itu. Kemudian beliau bilang, dia sangat tertarik denganku dan ingin melamarku. Aku tertawa keras-keras. Orang ini pasti tidak waras. Pak Satya meyakinkanku bahwa apa yang baru saja diucapkannya adalah benar dan sungguh-sungguh. Aku menjawab masih belum terpikir olehku untuk menikah secepat ini, apalagi dengan orang yang baru saja aku kenal, terpantau umur cukup jauh –waktu itu umurku 21 tahun, dan berbeda etnik pula. Pak Satya memberiku nomor telepon dan alamat rumahnya di Bandung. Berharap jika aku berubah pikiran aku akan menghubunginya. Kembali aku hanya tersenyum. Kereta berjalan pelan memasuki stasiun terakhir, Solo Balapan. Itu adalah pertemuan pertama dan terakhir kami. Kini, sudah 7 tahun berlalu. Kertas berisi tulisan alamat dan nomor telepon itu sudah hilang. Pun wajah Pak Satya aku sudah lupa. Tapi cerita unik itu ternyata masih ada. Lucu memang jika aku mengingatnya. 

***
Palang pintu perlintasan kereta api sudah dibuka kembali. Belasan kendaraan berebut melewati rel sejajar ini. Begitu juga denganku, yang sepertinya akan terlambat karena tercegat kereta tadi.  Ku tarik gas motor maksimal, melewati aspal basah dan udara dingin pagi. Aku tersenyum tipis, apa kabar Pak Satya ya? Aku berencana mencari kertas kecil itu sesampainya di rumah sore nanti.. :D

FRIENDSHIP

13 Januari 2011

Persahabatan kami layaknya embun pagi, menetes dari pucuk-pucuk daun hijau. Jernih, segar..

13 tahun lalu, pertama kali kami bertemu, pada acara orientasi siswa baru di sebuah Sekolah Menengah Pertama favorit di kota kami. Kota tua yang hanya berpenduduk tak lebih dari 700 ribu jiwa, yang dikelilingi pegunungan di sisi utara dan hamparan pantai di bagian selatannya. Kota yang begitu damai, tanpa ada konflik yang berarti, sehingga sangat nyaman untuk ditinggali.

Sapaan hangatnya membuyarkan konsentrasiku yang sedang konsen membaca buletin sekolah. Tak butuh waktu lama, kami saling berkenalan dan ngobrol kesana-kemari. Akhirnya kami putuskan duduk di bersebelahan di meja yang sama. Kami cukup banyak kesamaan rupanya. Dia sosok yang pandai bergaul, hangat, dan ceria. Ada saja hal yang kami bicarakan. Tentang pelajaran sekolah, tentang hobi, tentang gossip dan yang paling sering, tentang cowok. 

Saat itu, postur tubuhku bisa dibilang kecil, begitu juga dengannya. Namun kami begitu lincah dan gesit.  Kebetulan kami sama-sama menyukai olahraga. Lalu kami bergabung dalam tim basket sekolah. Tak jarang kami juga berenang. Tapi dalam hal ini dia lebih jago dari aku.

Banyak hal yang sudah kami lewati bersama. Yang paling sering kami lakukan adalah berpetualang -versi anak SMP tentunya. Pergi ke suatu tempat yang belum pernah dikunjungi adalah hobi kami. Biasanya, hal itu kami lakukan di hari Minggu. Sehari sebelumnya kami sudah merencanakan dengan sangat baik acara untuk besok dan menyiapkan segala propertinya. Mulai dari perbekalan makanan, kendaraan, obat-obatan, dan uang. Kami bagaikan dua reporter cilik untuk acara yang berbau petualangan. 

Pernah suatu hari, dengan berbonceng sepeda onthel tua milik Bapak, kami pergi ke sungai Bogowonto. Sungai ini bisa dibilang salah satu sungai besar di bagian selatan Jawa Tengah. Dengan usaha yang cukup keras mengayuh sepeda –saat itu kakiku belum cukup panjang untuk sampe di pedal sepeda, aku memboncengkannya melewati jalan aspal kecil di Kompleks Bataylon Tentara 412 di timur rumahku.

Lalu sepeda Bapak kami tinggal begitu saja tanpa di kunci di sebuah rumah tua  tak berpenghuni di ujung tebing sungai –kami begitu polos dan tidak berfikir apakah sepeda itu akan diambil orang atau tidak. Kemudian berjalan kaki menyusuri pinggiran sungai yang berbatu, tanpa ada ada kekhawatiran akan ada banjir bandang menerjang. Kami bernyanyi riang sambil sesekali berhenti untuk istirahat dan menikmati perbekalan. Kemudian melanjutkan perjalanan lebih jauh ke bantaran sungai di desa yang entah kami juga tidak tahu namanya. Melihat anak-anak kecil berenang dan mandi-mandi di sungai –yang kemudian kami sebut “Anak Seribu Pulau”.

Setelah cukup jauh merasa terdampar, akhirnya kami putuskan untuk kembali. Dan ajaib, sepeda onthel Bapak masih ada, walaupun sudah tidak pada posisi seperti pada saat kami tinggalkan. Dan hari itu kami begitu puas dan bangga, karena telah menemukan tempat baru, walaupun harus kena marah besar Mama..

Pernah juga, berjalan hampir 2.5 km di tengah terik matahari dan membelah sawah hijau di desa Simbah. Ya, waktu itu kami pergi ke desa Simbah dan sesampainya di sana sengaja tidak mencari angkutan desa hanya karena ingin menikmati sejuknya sawah. Tapi konyolnya, hal itu kami lakukan siang hari. Yang ada kulit kami menjadi begitu coklat. Dan lagi-lagi, omelan Mama menjadi penutup kegiatan kami hari itu.. ;)

3 tahun begitu cepat kami lewati. Ya, hari perpisahan pun tiba. Dia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Analis Kesehatan di kota Jogja. 3 tahun kemudian dia kuliah di Akademi Analis Kesehatan di kota yang sama. Setelah itu bekerja di sebuah rumah sakit di seberang pulau sana.

Sedang aku, mendaftar di SMA favorit di kota kami. Lalu kuliah di kota Solo. Dan sekarang tinggal di kota ini. Pun itu bukan hambatan bagi kami untuk tetap menjalin persahabatan. Terakhir kami bertemu sekitar 2 tahun yang lalu. Bahkan dia belum pernah melihat langsung keponakan kecilnya..

Epy, thanks for being my best friend. Menemani pendewasaanku. Menemani saat ku terpuruk –when I lost my daddy. 

Sist, I really miss you..

Special to : http://www.facebook.com/#!/profile.php?id=1834534112


Reflection

2 Januari 2011

..
Kulepaskan angan-angan, "perasaan cintamu padaku" *
Sebelum anyaman jiwaku, terselip dalam hati
Yang akan menggoda dalam doa, dan kemurnian cinta
...
Kini, aku berdiri sebagai batu kali
Yang akan hanyut ke dasar laut

-Wee-

* Jika kamu pernah dicampakkan seseorang, ikhlaskanlah..
Sesungguhnya kamu hanya kehilangan seseorang yang tidak lagi mencintaimu, sedangkan dia telah kehilangan seseorang yang sangat mencintainya.