Resign

21 Maret 2013

Sudah hampir satu tahun ini, saya mengundurkan diri dari posisi saya sebagai seorang karyawan di salah satu perusahaan makanan cukup besar di kota ini. Alasannya cukup sederhana, saya ingin berada di samping anak-anak saya. Keinginan ini muncul saat saya mulai hamil anak kedua. Waktu itu, masih 40:60 lah untuk resign vs tetap bekerja. Namun semua berubah ketika saya mendengar tangis pertama anak kedua saya. Saya mantap 100% untuk mundur dari pekerjaan dan konsen pada anak2.  

Apakah yang akan saya lakukan di rumah? Apakah tidak bosan? Apakah saya bisa? Pertanyaan itu terus menghantui. Sudah hampir 6 tahun saya bekerja. Dengan aktivitas yang begitu padat dan bahkan hanya bertemu dengan putri saya di malam hari. Lalu jika tidak bekerja, bagaimana hidup saya nanti? 

Ternyata, ketakutan saya tidak sepenuhnya terjadi. Mengurus dua anak bagi saya bukanlah hal yang mudah. Keduanya sama2 membutuhkan input yang baik, baik dari sisi gizi, pendidikan moral, formal dan agama, yang tak lain tak bukan supaya outputnya juga baik. Dan akan membutuhkan waktu tidak bisa dinominalkan. Bukan dari pukul 8 sampe 17, tapi sepanjang waktu yang ada, seumur hidup saya.. Ah, jadi kangen mama, kan.. She’s great! 

Jadi, bangun subuh pun kadang merasa kurang pagi karena begitu banyak hal yang harus saya lakukan. Mulai dari memasak untuk kakak, lalu masak untuk adik, lalu memasak untuk saya sendiri. Dilanjut menyiapkan air panas untuk mandi keduanya. Kemudian membersihkan lantai supaya anak2 nyaman dan bersih bermain di bawah. Lalu memandikan keduanya, menyuapi keduanya, dan minum susu + vitamin. Pada kegiatan mandi dan makan pagi, saya selalu dibantu oleh suami.. Setelah bapaknya anak2 berangkat, dimulai lah jadwal acara yang sangat padat bersama my kids. Mulai dari bermain, makan, ngemil, belajar, bersosialisi, tidur siang.. Untuk bagian tidur siang, jangan dibayangkan saya juga enak tidur siang bersama mereka ya. Anak2 punya jadwal tidur sendiri2. Jadi saat si kakak tidur, adik pas melek,dan sebaliknya. Otomatis saya harus standby menjaga keduanya. Atau saya membereskan pekerjaan rumah yang belum tersentuh..

Dulu ketika menjadi karyawan, KPI (key performance indicator) saya dilihat dan dikaitkan dengan visi misi organisasi lalu dipertanggungjawabkan kepada atasan. Sekarang, target saya berubah drastis menjadi : menyuapi anak sampe habis maemnya, mengajari anak tentang sesuatu, menjaga agar tidurnya cukup.. KPI saya  adalah berat badan anak meningkat atau minimal stabil, lalu anak bisa mengerti apa yg saya ajarkan, lalu anak2 sehat jasmani rohaninya.. Dan yang pasti, semua itu pertanggungjawabannya bukan hanya kepada suami, tetapi juga kepada Tuhan, Allah SWT.

Bagi saya “me time” itu tidak ada. Yang ada adalah “family time”. Semua waktu adalah anak2 saya. Kadang bangun sebelum subuh dan tidur larut malam pun seolah masih kurang untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Namun semua terbayar dengan senyum anak2 dan keceriaan mereka.. Mungkin saya telah melewatkan banyak hal, namun saya tidak pernah ingin melewatkan hariku tanpamu, kids..

Oya, soal lewat melewatkan, saya ada satu cerita tentang kehilangan dua nomor HP sekaligus. Nanti deh ceritanya ya. Setelah ini.. 

Ops, wait a minute.. Ini kok jadi panjang urusannya sampe mana-mana ya? Tadi kan cuma cerita soal resign dan kesimpulannya tidak ada yang membosankan paska resign dari pekerjaan.. Hehe. Intinya, mantapkan jiwa untuk mengambil keputusan dan siapkan raga untuk menjalani keputusanmu apapun itu. Dengan sabar dan keiklasan, Insya Allah tidak akan ada yang sia2.. CHEERS!

Prolog (lagi)

1 Maret 2013

Bahwasanya sudah sangat lama saya ga posting sesuatu di sini. Terakhir, tahun 2011 kayaknya. Yup, 2 tahun lalu. Lama juga.. Hmm, bukan apa2, hal ini dikarenakan kesibukan saya sebagai ibu rumah tangga untuk putra putri dan suami saya. Hehe..sok sibuk ya. Tapi begitu lah aktualnya. Bahkan saya sampe kagok (aneh, tidak terbiasa) mengoperasikan tuts2 keyboard netbook tua ini.. But, it doesn’t matter. Let’s we start guys..

Dulu, waktu SD, saya suka menulis. Apa aja saya tuangkan ke dalam tulisan. Tidak berpola, tidak artistik, cenderung apa adanya.. Yang paling susah pada saat menulis, menurut saya adalah kata pertamanya. Namun saat sudah menemukan kata pertama, semua akan mengalir begitu natural. Ya, minimal diri saya sendiri bisa menikmatinya. Kalo Anda dan orang lain juga bisa menikmati tulisan2 ini, itu sangat luar biasa buat saya..

14.09.2011

14 September 2011

Stop trying to delete your past, running away from your mistakes & from people who knew those mistakes. Instead use the past to build your future.

The Wedding

13 Juni 2011

Morning All,

Pagi ini cerah banget. Mm..aku akan mulai lagi menulis tentang apa saja, setelah vakum berbulan-bulan. Terinspirasi oleh blog seorang teman, yang aku sama sekali tidak menyangka bahwa dia bisa membuat blog secantik itu.. Salut.

Tahun ini mungkin tahun yang baik bagi banyak orang untuk menikah. Termasuk beberapa teman dekatku. 



1. Nenny 
Dia teman kos dulu waktu kuliah. Masuk kuliah dan kos di tahun 2003 dan lulus tahun 2007. Aku ingat betul, awal mula dia mulai tinggal di kos "Kaduk Manis" di samping Kampus ISI Solo. Gayanya yang childish, giginya yang gigi kelinci, kacamata yang tidak pernah dia lepaskan (kecuali pas mandi aja), suka ngiler kalo pas tidur, selalu jadi bahan olok-olokan kalo pas ngobrol, atau suka dikerjain untuk beli makanan buka pas bulan puasa.. Nenny yang nggak pernah marah, Nenny yang pinter masak, Nenny yang kreatif, akhirnya mau nikah juga kamu ya, Nduk. Pacaran udah cukup lama dengan calon suaminya, sejak kuliah dulu. You both, rocking Menduuut..

2. Beti
Teman paling dekat saat kuliah. Cantik, alisnya tebal (inilah daya tarik khas nya), pendiam, tapi narsis banget sebenernya. Sangat easy going dan smart. Oya, kami suka nongkrong di HIK (=angkringan) dekat kosnya. Hehehe.. Pernah suatu kali, di awal kuliah dulu, aku dan sahabatku yang lain, Retno namanya, mudik ke kota halaman tercinta (bukan kampung halaman lho..^_^) dengan menggunakan sepeda motor. Nha, si Beti ini tetap stay di kosannya karena jadwal pulang ke kotanya baru besok. Baru seperempat jalan, ban motor yang kami naiki ternyata bocor. Lalu kami berhenti dan mencari tukang "tambal ban" untuk menggantinya. Karena waktu tunggu menambal ban ini cukup lama, aku dan Retno iseng-iseng ke wartel yang letaknya bersebelahan dengan tukang tambal ban. Kami menelepon kos Beti (waktu itu belum jaman handphone, sudah ada beberapa yang punya, namun kebetulan kami tidak punya). Aku memberi kabar kepada Beti bahwa motor kami ban nya bocor. Di ujung sana, Beti menangis sesenggukan. Aku tidak tau mengapa. Gagang telepon aku berikan kepada Retno, mungkin Beti mau mengungkapkan alasan menangisnya kepada Retno. Tapi tetap nihil. Beti bilang, dia hanya ingin menangis.. 5 hari kemudian, sebuah duka yang sangat mendalam dialami oleh aku dan seluruh anggota keluargaku. Bapak kami, meninggal dunia. Beti, yang kemudian juga datang melayat, menangis tak terbendung. Mungkin itulah firasat yang dirasakannya pada saat itu..
Beti, my sister, I miss you so.. Akhirnya berujung juga ya. Setelah dulu menjalin hubungan dengannya (teman ku  satu kampus juga), dan kini mendapat Mas yang sekarang. Perjalanan panjang ini semoga berakhir indah. Segala doa kebaikan aku kirimkan untukmu. Semoga bahagia selalu, dunia akhirat. Amin.

3. Lasty
Tutiiiiiikkk..itu panggilan sayangku padanya. Lasty yang dulu anak yang keliatannya super kalem, alim, pendiam, ternyata kebalikannya. Gayanya yang 'nyablak', penampilannya yang ndeso (asli Jekardeeh, tapi kulit item, dandanan ga modis,aaarrgghhh parah!), keceriaan dan suara cempreng (melengking) yang menunjukkan ciri khasnya.
Aku, Tutik dan satu teman lagi Tantri, mulai akrab ketika kami dimasukkan dalam satu departemen yang sama dan satu ruangan. Banyak hal yang sudah aku, Tutik, dan Tantri bagi bersama. Sedih, susah, dan gembira. Termasuk cerita tentang hubungannya dengan seorang Towo. Dan akhirnya sekarang akan memulai ke jenjang yang lebih tinggi.
Tiiikkk..kayaknya kalo ke Jekardeeh aku kejauhan deh. Happy wedding ya. Semoga benar-benar terwujud sebuah keluarga seperti yang kamu dan Towo impikan. Kapan-kapan, kalo aku main-main ke sana, jemput di bandara ya Say.. Miss You so much..

Kuasa-NYA

5 April 2011

Cuaca yang ekstrim beberapa waktu terakhir ini, memaksaku memberi perhatian lebih pada kuda-kuda besi kami. Ya, ada kalanya siang begitu terik, namun beberapa saat kemudian awan pekat bergerak cepat dan hujan turun dengan lebatnya. Kondisi seperti ini membuat sepeda motor tuaku semakin bertambah tua dan rapuh, dan mau tidak mau aku harus sering-sering mencucinya agar tidak bertambah parah.

Hari ini hari Minggu. Saat yang paling tepat untuk bebersih rumah dan merapikan apa saja. Kulirik mobil tua kami. Ah, rupanya ingin dimandikan juga dia. Dengan mengajak si kecil, buah hatiku tersayang, kami menuju tempat pencucian mobil. Rupanya, pemikiran kami sama dengan orang lain karena cucian mobil di dekat rumah sangat ramai dan kami harus mencari tempat lain supaya tidak mengantri panjang. Akhirnya kutemukan tempat yang tepat. Tidak ada antrian dan tempatnya bersih untuk duduk-duduk sembari menunggu mobil dicuci.

Si pemilik tempat ini sangat ramah. Perempuan, cantik, dan masih muda. Parasnya sangat familiar sehingga komunikasi kami mengalir dengan lancar, seolah bertemu teman lama. Awalnya hanya basa-basi saja, tetapi kemudian dia mengajak bermain putriku. Dia begitu menikmati bermain dengan si kecil. Diciumnya putriku berulang kali, sambil dibecandain dan putriku terkikik-kikik dengan lucunya. Lalu aku bertanya, apakah dia sudah berkeluarga atau belum, sudah punya putra atau belum, pertanyaan yang wajar melihat penampakannya yang sudah dewasa. 

Sambil berkaca-kaca, dia menjawab pertanyaanku dengan bibir bergetar. Dia sudah menikah. Sudah dikaruniai seorang putra. Lahir 6 bulan yang lalu melalui operasi cesar. Anaknya laki-laki, berat 4 kilogram dan panjang 49 cm. Tergolong besar untuk postur bayi jaman sekarang. Namun meninggal sehari sesudah dilahirkan karena mengalami kelainan jantung. Deg..jantungku tiba-tiba berdegup kencang, dadaku berasa menganga. Badanku melemas. Aku terdiam, tidak bisa berkata apa-apa. Hanya mampu tersenyum getir saat itu. Sesaat kemudian aku berpaling, air mataku tidak bisa kubendung.. 

Ketika Allah ingin memberi sesuatu untuk umat-Nya, dengan mudah Allah bisa memberikan. Dan ketika Allah ingin mengambil kembali milik-Nya, dengan mudah pula Dia bisa mengambilnya.

26 Januari

26 Januari 2011


Kalau ditanya “Hal apa yang paling kamu inginkan?”, jawabanku bukan harta, tahta atau jabatan. Jawabanku adalah “Bertemu Ayahku dan mengatakan I love you so much Bapak. Thank you for being our best Daddy..” 

Pagi itu, sinar mentari tidak menampakkan cahayanya dengan sempurna. Hanya mengintip malu-malu melalui celah-celah awan. Masih pukul setengah tujuh. Aku bahkan belum mandi ketika kulihat Bapak sedang mengecek mobil merah kesayangannya. Ya, mobil tua warna merah itu baru Bapak beli tiga bulan yang lalu. Kondisi mobil masih sangat prima, walaupun tergolong mobil kuno. Mesin bagus, cat bagus, interior wah dengan knalpot suara besar yang masih nge-trend saat itu. Bapak begitu menyayanginya, hingga aku tidak diperkenankan mengendara mobil itu sendirian –Bapak selalu mendampingi. 

Pukul tujuh, setelah sarapan pagi dan menikmati teh panas buatan Mama –yang nikmatnya luar biasa dan tidak ada tandingannya, Bapak berpamitan akan keluar kota. Beliau bilang, sudah berkencan dengan Paman kami yang tinggal di Jogja dan akan mengurus suatu hal. Kebetulan ini hari libur. Tapi tidak biasanya kami tidak antusias untuk ikut pergi dengan Bapak. Hanya kakakku saja yang sempat bilang pada Bapak kalau dia ingin ikut. Namun Bapak melarang, alasannya nanti kakak capek. Kemudian Bapak pergi. Aku tidak pernah menyangka sama sekali jika pagi itu adalah pertemuan terakhirku dengan Bapak, lelaki yang sangat aku cintai..

Setengah sebelas malam, pintu rumahku diketuk. Kakakku membukakan pintu. Ternyata teman sekantor Bapak yang datang. Mama sudah tidur dan Bapak masih belum pulang dari Jogja. Si tamu bersikeras bertemu dengan Mama walaupun sudah diberitahu oleh kakakku bahwa Mama sudah tidur. Akhirnya kami membangunkan Mama. Mama menemui tamu di ruang depan. Tak berapa lama, kami mendengar tangis Mama. Tangis yang sangat menyayat hati. Tangis untuk suaminya. Ya, Bapak mengalami kecelakaan bersama Paman dalam perjalanan pulang ke rumah. Keduanya meninggal dunia..

Malam itu, menjadi malam yang sangat panjang dan tidak bisa kulupakan. Ada sebuah lubang yang sangat besar di dadaku. Kehampaan. Aku bagai tenggelam dan hilang. Air mata tak berhenti mengalir di pipi. Sakit, sangat sakit bahkan. Puncak dari segala macam emosi tercurah. Sedih, marah, kecewa, hancur, kosong, semua menjadi satu. Semua karena aku harus kehilanganmu, Ayahku..
***
Hari ini, tepat tahun ke-9 Bapak tidak bersama kami. Masih terngiang, Bapak memanggil kami putri-putrinya dengan sebutan Kebo untuk kakakku, Sapi untukku dan Kuda untuk adikku. Masih terasa, sentuhan kumis Bapak di kulit wajah kami. Bapak selalu mencium kening kami kapanpun setiap ada kesempatan. Juga tawa lepas Bapak ketika sedang menggoda kami dengan melemparkan tubuh kami ke udara kemudian menangkapnya kembali. Atau muka marah Bapak, karena kami tidak segera mengambil air wudhu saat sebelum fajar menyingsing.

Banyak sekali hal yang sudah Bapak ajarkan padaku.
Tentang kesabaran –tidak selalu apa yang kuminta, langsung dipenuhi oleh Bapak. Harus menunggu berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan sampai akhirnya barang yang kuinginkan ada di tangan. Dan aku merasa sangat bersyukur akhirnya mendapatkan barang impianku.

Tentang keadilan –jarang aku merasa iri dengan apa yang dipunyai oleh kakak dan adikku. Bapak selalu bisa menjelaskan kenapa kakak punya barang A, aku punya barang B dan adik punya barang C. Semua dimiliki sesuai kebutuhannya masing-masing. 

Tentang arti kerja keras –sering Bapak meminta kami membantu pekerjaan tukang yang pada waktu itu sedang merenovasi rumah. Mengangkat batu bata, genting, atau semen. Bapak mengajarkan betapa kami harus bisa menghargai setiap rejeki yang Allah berikan pada kita.

Tentang sebuah kebanggaan dan apresiasi –diantara kami bertiga, hanya aku yang bisa menyetir mobil. Waktu itu aku masih kelas 1 SMA dan aku sudah diizinkan keluar dengan membawa kendaraan roda empat. Bapak begitu bangganya padaku hingga tak jarang Beliau bercerita kepada teman-temannya tentang hal ini. Saat itu aku merasa Bapak sombong karena membangga-banggakan kami. Tapi kelak, aku akan bilang bahwa itu bukan sombong. Tapi kebanggaan seorang Ayah karena telah berhasil mendidik anak-anaknya dengan baik. Ah, andai Bapak bisa mendampingi kami, akan kami buat Bapak menjadi Ayah yang paling berbahagia di dunia ini.

Tentang keutuhan keluarga –satu hal yang menjadi pertimbangan Bapak saat membeli mobil adalah kapasitas tempat duduk. Bapak sebenarnya suka pada mobil kecil macam sedan, namun karena pertimbangan keluarga kami yang cukup banyak ditambah Saudara-saudara yang tidak kalah banyak juga, akhirnya Bapak membeli mobil besar biar semua bisa terangkut. Bapak selalu memikirkan kebahagiaan orang banyak dan terbukti kami selalu nyaman di dekatnya.

Tentang arti hubungan sosial –Bapak tidak pernah memandang dengan siapa beliau bergaul. Padahal Bapak tergolong orang terpandang di kota kami. Baik di kalangan akademisi ataupun pemerintahan. Aku bisa bilang begitu karena pada saat Bapak meninggal, tidak hanya kawan-kawan kantornya saja yang datang melayat, tetapi juga tukang kayu, tukang becak, supir, satpam, tukang parkir, penjual sayur, ball boy di tempat tenis, bahkan petugas penyapu jalan pun ikut hadir dan men-sholatkan Bapak. Satu pelajaran yang kupetik, seorang teman tidak hanya menjadi rekan di dunia, tapi bisa jadi membantu kita di akhirat nanti.

Dan masih banyak lagi pelajaran yang Bapak sampaikan pada kami. Terlalu sedih jika aku mengingat semua hal tentang Bapak. Bapak memang bukan Bapak yang sempurna, tapi Bapak telah membuat kami merasa sangat bersyukur memiliki Ayah sepertinya. Dan satu hal, terima kasih telat mewariskan mata dan alis itu pada cucu kecilmu. Setiap kali mata mungil itu memandangku, seolah Bapak sedang di sini bersamaku. Bapak, istirahatlah dengan tenang. Semoga suatu saat nanti kita bisa bertemu di sana..

Dilamar!

19 Januari 2011

Sengaja aku berangkat lebih pagi dari biasanya. Sengaja ingin merasakan “tidak diburu-buru waktu” dan merasakan menjadi mereka yang “santai”. Aku pacu motorku pelan-pelan. Pagi ini sungguh segar. Butir-butir air menetes dari pucuk-pucuk daun padi, hamparan sawah hijau membentang menyejukkan mata, daun-daun berserakan di jalan sisa hujan tadi malam, dan burung-burung kecil memulai kegiatannya mencari makan. Kuhirup udara dalam-dalam. Aku nikmati setiap partikel zat kehidupan ini masuk ke paru-paruku. Mm..sangat-sangat menentramkan. Nikmat Allah pagi ini memang sungguh luar biasa. Ya, walaupun cuma 5 menit lebih awal, tapi ternyata ini sangat cukup untuk merasakan setitik kuasa-Nya. 

Untuk kesekian ratus kali aku lalui jalan ini. Dan tak bosan-bosannya, aku menoleh ke kanan kiri untuk melihat hamparan kaki Gunung Lawu di timur atau puncak Gunung Merapi di barat. Karena laju ku pelan-pelan, tidak sedikit kendaraan lain mendahului ku dengan cepatnya. Huff..kadang-kadang naik darah juga jika yang mereka menyalip dengan seenaknya dan tidak memberi sign. Tapi hari ini aku tidak ingin marah. Bukankah tujuanku menikmati pagi yang segar dan jernih ini? Aku ingin berdamai dengan mereka yang seenaknya. 

Serombongan siswa sekolah dasar masih berdiri di luar pagar sekolah. Berarti belum genap pukul 7. Motor tuaku dipaksa berhenti ketika tepat di depanku palang pintu perlintasan kereta api ditutup secara otomatis oleh petugas jaga yang artinya akan ada kereta lewat. Entah mengapa, aku suka naik kereta. Di samping merupakan sarana transportasi darat tercepat, bagiku hanya kereta yang cocok untuk perjalanan jarak jauh –kalau menggunakan bis, aku pasti mabuk berat. Tiba-tiba ingatanku melayang pada kejadian tahun 2004 lalu. Kejadian yang menurutku sangat luar biasa. Aku dilamar oleh seseorang yang baru 2 jam mengenalku!

Dulu, lagi-lagi karena alasan mabuk darat, aku lebih sering menggunakan kereta api untuk pergi ke kota Solo, kota tempatku belajar. Dengan “menumpang” kereta bisnis eksekutif jurusan Bandung-Solo, setiap Minggu sore biasanya aku sudah standby di stasiun kecil yang berjarak 18 km dari rumah. Untuk masuk ke stasiun itu, aku tidak melewati pintu peron. Namun lewat pintu di sebelah barat yang dekat dengan mess pegawai PJKA. Ceritanya untuk menghemat ongkos. Pukul 14.30 kereta tiba di stasiun. Kami –aku dan beberapa teman seperjuangan- hanya punya waktu 3 menit untuk naik ke kereta dan mencari tempat duduk. Kami berlaga bak penumpang asli dari Bandung yang begitu familiar dengan suasana kereta. Begitu ada pemeriksaan karcis dan kondektur berkeliling, kami sangat tenang. Sengaja mencari obrolan dengan orang di sebelah tempat duduk, bermain handphone, pura-pura tidur atau bahkan berjalan-jalan pindah gerbong. Konyol memang, tapi itulah yang kami lakukan untuk menghindari “membeli karcis” pada kondektur. Jika kami bisa lolos dari audit itu, jiwa ini dipenuhi rasa puas luar biasa. Seperti mendapat undian memenangkan hadiah utama sebuah mobil mewah. Senyum lepas selalu mengembang di wajah kami. Dan sesampainya di tempat kos, tak henti-hentinya kami menceritakan kehebatan kami ini. 

Seperti juga hari itu. Di kereta aku duduk bersebelahan dengan seorang laki-laki yang kalau aku taksir umurnya sekitar 32 tahun. Aku sudah lepas dari pemeriksaan kondektur dan bersiap tidur sejenak karena badanku sangat capek. Baru akan memejamkan mata, laki-laki di sebelahku itu menyapa. Untuk menghormatinya, aku mengikuti obrolan yang dia buka. Setiap pertanyaan yang dia lontarkan, aku menjawab dengan jawaban pendek. Begitu seterusnya, yang pada akhirnya kadang muncul pertanyaanku untuk si Bapak itu, yang ternyata namanya Satya. Pak Satya asli orang Bandung dan akan ke Solo untuk urusan bisnis. Obrolan kami begitu seru, bahkan tak jarang beliau tertawa lepas atau menganggukkan kepala dalam-dalam pertanda mengerti. Hingga, keluarlah pertanyaan itu, apakah aku pernah berpikiran dilamar oleh seseorang yang baru aku kenal. Aku menggelengkan kepala, yang berarti tidak. Lalu dia melanjutkan lagi dengan pertanyaan, apakah aku sudah punya calon pendamping atau belum. Lagi-lagi aku bilang tidak, karena memang aku tidak punya pacar saat itu. Kemudian beliau bilang, dia sangat tertarik denganku dan ingin melamarku. Aku tertawa keras-keras. Orang ini pasti tidak waras. Pak Satya meyakinkanku bahwa apa yang baru saja diucapkannya adalah benar dan sungguh-sungguh. Aku menjawab masih belum terpikir olehku untuk menikah secepat ini, apalagi dengan orang yang baru saja aku kenal, terpantau umur cukup jauh –waktu itu umurku 21 tahun, dan berbeda etnik pula. Pak Satya memberiku nomor telepon dan alamat rumahnya di Bandung. Berharap jika aku berubah pikiran aku akan menghubunginya. Kembali aku hanya tersenyum. Kereta berjalan pelan memasuki stasiun terakhir, Solo Balapan. Itu adalah pertemuan pertama dan terakhir kami. Kini, sudah 7 tahun berlalu. Kertas berisi tulisan alamat dan nomor telepon itu sudah hilang. Pun wajah Pak Satya aku sudah lupa. Tapi cerita unik itu ternyata masih ada. Lucu memang jika aku mengingatnya. 

***
Palang pintu perlintasan kereta api sudah dibuka kembali. Belasan kendaraan berebut melewati rel sejajar ini. Begitu juga denganku, yang sepertinya akan terlambat karena tercegat kereta tadi.  Ku tarik gas motor maksimal, melewati aspal basah dan udara dingin pagi. Aku tersenyum tipis, apa kabar Pak Satya ya? Aku berencana mencari kertas kecil itu sesampainya di rumah sore nanti.. :D